Monday, December 24, 2012

Adab diam dalam sholat Jum’at

Setiap muslim yang ta’at, terutama lelaki harus datang dalam sholat Jum’at. Dalam menghadiri sholat Jum’at di masjid, ada beberapa adab yang harus diperhatikan, salah satunya adalah diam tidak berbicara pada saat imam berkhutbah. Larangan ini didukung oleh beberapa hadits berikut:
Dari Abu Hurairah ra. ia berkata bahwa Rasulullah bersabda, yang artinya:
Barangsiapa yang berwudhu, lalu memperbagus wudhunya kemudian ia mendatangi (shalat) Jum’at, kemudian (di saat khutbah) ia betul-betul mendengarkan dan diam, maka dosanya antara Jum’at saat ini dan Jum’at sebelumnya ditambah tiga hari akan diampuni. Dan barangsiapa yang bermain-main dengan tongkat, maka ia benar-benar melakukan hal yang batil (lagi tercela)” HR. Muslim no. 857
Dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata bahwa Rasulullah bersabda, yang artinya:
Barangsiapa yang berbicara pada saat imam khutbah Jum’at, maka ia seperti keledai yang memikul lembaran-lembaran (artinya: ibadahnya sia-sia, tidak ada manfaat, pen). Siapa yang diperintahkan untuk diam (lalu tidak diam), maka tidak ada Jum’at baginya (artinya: ibadah Jum’atnya tidak sempurna, pen).” HR. Ahmad 1: 230
Dari Salman Al Farisi, ia berkata bahwa Rasulullah bersabda, yang artinya:
Apabila seseorang mandi pada hari Jum’at, dan bersuci semampunya, lalu memakai minyak dan harum-haruman dari rumahnya kemudian ia keluar rumah, lantas ia tidak memisahkan di antara dua orang, kemudian ia mengerjakan shalat yang diwajibkan, dan ketika imam berkhutbah, ia pun diam, maka ia akan mendapatkan ampunan antara Jum’at yang satu dan Jum’at lainnya.” HR. Bukhari no. 883

Memperingatkan orang lain saat khutbah cukup dengan isyarat

Jika ada orang yang berbicara saat khotib berkhutbah, maka kita boleh mengingatkannya namun cukup dengan isyarat saja. Hal ini sesuai dengan perkataan imam Nawawi yang artinya, “Jika kita ingin beramar ma’ruf kala itu, maka cukuplah sambil diam dengan berisyarat yang membuat orang lain paham. Jika tidak bisa dipahami, cukup dengan sedikit perkataan dan tidak boleh lebih dari itu.”
Anas bin Malik mendukung pernyataan ini secara tidak langsung dalam sebuah hadits, beliau berkata, “Tatkala Rasulullahh shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah di atas mimbar, berdirilah seseorang dan bertanya, “Kapan hari kiamat terjadi, wahai Nabi Allah?”. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam diam, tidak mau menjawab. Para sahabat lalu berisyarat pada orang tadi untuk duduk, namun ia enggan.” HR. Bukhari no. 6167, Ibnul Mundzir no. 1807, dan Ibnu Khuzaimah no. 1796
Hadits diatas menunjukkan bahwa para sahabat juga melakukan amar ma’ruf ketika khotib berkutbah, yakni dengan isyarat saja, tidak berbicara. Mengenai kerugian berbicara ketika khotib berkutbah, Rasulullah pernah bersabda yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, yang artinya:
Jika engkau berkata pada sahabatmu pada hari Jum’at, ‘Diamlah, khotib sedang berkhutbah!’ Sungguh engkau telah berkata sia-sia.” HR. Bukhari no. 934 dan Muslim no. 851

Larangan menjawab salam orang lain

Menurut Shahih Fiqh Sunnah 1:589, adalah sebuah larangan untuk menjawab salam orang lain saat imam berkhutbah. Cara membalasnya hanyalah cukup dengan isyarat saja. Isyarat bisa dilakukan dengan gerakan tangan atau gerakan kepala. Hal ini sesuai dengan fatwa dari Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz yang berkata bahwa:
“Menjawab salam saat khutbah tidaklah diperintahkan. Bahkan kita hendaknya shalat tahiyyatul masjid, duduk dan tidak mengucapkan salam pada yang lain hingga selesai khutbah. Jika ada yang memberi salam padamu, maka cukuplah balas dengan isyarat sebagaimana halnya jika engkau diberi salam ketika shalat, yaitu membalasnya cukup dengan isyarat. … Jika ada di antara saudaranya yang memberi salam sedangkan saat itu imam sedang berkhutbah, maka balaslah salamnya dengan isyarat, bisa dengan tangan atau kepalanya. Itu sudah cukup, alhamdulillah.” (Dikutip dari website resmi Syaikh Ibnu Baz di sini)

Menjawab salam khotib

Imam selalu mengucapkan salam saat naik mimbar untuk berkhutbah. Hukum menjawab salam ketika itu adalah fardhu kifayah, yang artinya jika sebagain sudah menjawab, maka yang lain gugur kewajibannya. Dalam sebuah kitab fiqh dari madzhab Hambali, Al Inshof diakatakan bahwa,
Menjawab salam imam (ketika ia masuk dan menghadap jama’ah) dan juga menjawab setiap salam adalah sesuatu yang diperintahkan dan hukumnya fardhu kifayah bagi para jama’ah kaum muslimin.”
Jika anda berkeinginan menjawab salam dari imam, maka harus menggunakan suara yang keras terbatas, yakni keras yang sekiranya didengar oleh Imam. Dalam Mirqotul Mafatih Syarh Misykatul Mashobil, 13:6 Asy Syamilah, ‘Ali Al Qori berkata bahwa:
Menjawab salam dan tidak terdengar (di telinga orang yang memberi salam), itu belum menggugurkan kewajiban.”

Menjawab kumandang adzan

Dalam hal menjawab kumandang adzan pada saat sholat Jum’at dan sudah ada di masjid, ada adab yang harus dipatuhi. Yakni mengucapkan seperti yang diucapkan muadzin. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah, yang artinya:
Jika kalian mendengar kumandang adzan dari muadzin, maka ucapkanlah seperti yang ia ucapkan.” HR. Muslim no. 384
Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin dalam Syarhul Mumthi’ berkata bahwa “Jika imam telah memberi salam kepada jama’ah, ia disunnahkan duduk hingga selesai kumandang adzan. Ketika itu, hendaklah menjawab seruan muadzin (dengan mengucapkan yang semisal) karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika kalian mendengar seruan muadzin, maka ucapkanlah seperti yang ia ucapkan.” Hadits ini adalah umum. Jika imam berada di mimbar, hendaklah ia menjawab adzan, begitu pula makmum. Hendaklah mereka mengucapkan seperti yang diucapkan muadzin kecuali pada lafazh ‘hayya ‘alash sholaah’ dan ‘hayya ‘alal falaah’, hendaklah mereka ucapkan ‘laa hawla wa laa quwwata illa billah’.”
Sedangkan adab menjawab suara adzan adalah dengan suara lirih, sebagaimana asal adab do’a dan dzikir kepada Allah. Dalam hal ini Allah Ta’ala berfirman, yang artinya:
Dan sebutlah (nama) Rabbmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara.” QS. Al A’rof: 205
Dan juga firman Allah Ta’ala berikut, yang artinya:
Berdoalah kepada Rabbmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” QS. Al A’rof: 55

Menjawab Shalawat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

Menjawab shalawat Nabi adalah hal yang disarankan untuk dilakukan, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh ‘Ali bin Abi Tholib, mengatakan bahwa Rasulullah bersabda, yang artinya:
Orang pelit itu adalah orang yang ketika disebut namaku ia enggan bershalawat” HR. Tirmidzi no. 3546 dan Ahmad 1: 201
Dalam kitab Asnal Matholib, salah satu ulama Fikh Syafi’iyah mengatakan bahwa mendengar khotib bersalawat hendaknya mengeraskan suara untuk membalas shalawat tersebut. sedangkan bagi ulama Syafi’iyah lainnya mengatakan bahwa disunahkan diam dan menjawab sholawat tidak wajib. Sedangkan ulama Hambali mengatakan bahwa boleh menjawab sholawat namun dengan suara yang lirih seperti berdoa. Intinya adalah menjawab shalawat ketika khotib mengucapkannya adalah diperbolehkan namun afdolnya menggunakan suara yang lirih.

Menjawab orang yang bersin dan sodoran berjabat tangan

Menurut Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin, menjawab orang bersin saat imam berkhutbah tidak diperbolehkan karena hal ini termasuk berbicara dan terlarang serta hukumnya haram. Seorang muslim saja tidak diperintahkan mengucapkan salam. Jika salam saja dilarang, maka menjawab orang bersin juga tidak diperbolehkan. Orang yang bersin tidak diperkenankan mengeraskan bacaan “alhamdulillah” ketika imam berkhutbah, oleh karena itu ucapannya tidak perlu dibalas dengan “yarhamukallah”. Mengenai orang yang ingin mengajak bersalaman, sebaiknya tidak dilakukan karena termasuk berbuat lalai. Namun tidak mengapa jika menyambut sodoran tangan orang lain karena dikhawatirkan menjadi mafsadat, lalu jangan ditambah dengan kata-kata. Setelah shalat baru dijelaskan padanya bahwa hal ini adalah terlarang.

Berbicara kepada khotib

Adabnya adalah diperbolehkan untuk berbicara kepada khotib saat khutbah, baik ketika khotib memulai pembicaraan, bertanya atau ketika menjawab pembicaraannya dengan syarat bahwa ada hajat yang cukup penting. Seperti yang disebutkan dalam hadits riwayat Anas bin Malik yang mana ia pernah berkata, yang artinya:
Ada seorang Arab badui mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan saat itu beliau sedang berkhutbah Jum’at. Ia berkata, “Wahai Rasulullah, hewan ternak pada binasa …” HR. Bukhari no. 1029
Orang tersebut mengucapkan demikian karena hujan tidak berhenti setelah Rasulullah meminta hujan lewat shalat istiqo’ sehingga hewan ternak menjadi mati. Ia meminta supaya Rasullullah berdoa meminta Allah menghentikan hujan.
Demikian bahasan kami tentang adab diam ketika sholat jum’at dan beberapa kasus yang sedang terjadi. Intinya adalah berkata-kata ketika khatib sedang berkhutbah adalah haram, kecuali jika ada hajat atau maslahat. Semoga hal ini bermanfaat bagi kita.


Sumber : http://ridwanaz.com/islami/fiqih/adab-diam-dalam-sholat-jumat/

No comments:

Post a Comment